Novel serial terbaru karyaku yang diterbitkan Penerbit Kiddo, sejak 9 Maret 2015.
GKNN Buku 1: Dobel Kacau
GKNN Buku 2: Belut Penentuan
GKNN Buku 3: Teka-Teki K2Soul
Book Trailer : Fanmade
Banyak di antara kita “beruntung”, menjadi penulis yang membaca, pembaca yang menulis, dan sudah merasakan keajaiban di kedua sisi. Namun demikian, itu tidak memudahkan penulis menerima dan memahami reaksi negatif pembaca terhadap bukunya. Penulis cenderung defensif dan lupa bahwa sebagai pembaca, kita juga bersikap kurang lebih sama. Yaitu punya standard penilaian sendiri yang berpangkal pada fakta bahwa:
Itu gambaran umum tentang pembaca. Lebih detailnya, ada beberapa jenis pembaca, yang tentunya perlu direspons berbeda oleh penulis:
Pembaca “Friendly” (=temannya penulis ^_^)
Ia tertalu sopan untuk mengkritik tulisan teman. Mencari-cari hal positif untuk dipuji secara terbuka di medsos dan menyembunyikan kerutan kening dan kekecewaan. Apalagi kalau bukunya dikasih gratis oleh penulisnya sendiri. Apalagi kalau si pembaca ini juga sesama penulis, yang tahu susah payahnya menulis, dan yang berharap mendapatkan perhatian balik ketika bukunya sendiri terbit nanti.
Sebagai penulis, kita perlu masukan positif dari siapa saja, share dan likes di medsos membantu meningkatkan kepercayaan diri. Tetapi jangan terlena. Jangan berpuas diri dengan readership ini semata. Kemampuan kita belum teruji kalau hanya mengandalkan pembaca dari kalangan sendiri.
Pembaca Umum (It’s a jungle out there)
Buku Anda akan dimutilasi, dicacah, dicincang, down to each word. Satu dua pujian bisa saja mampir, tapi bersiaplah dengan seribu celaan. Dari masalah typo yang tidak penting banget, sampai masalah yang mungkin timbul akibat kesalahapahaman pembaca sendiri. “Ini novel jelek banget. Fantasi kok begini.” Padahal buku Anda adalah novel realistik psikologis. Beruntung kalau kita menemukan kritik salah paham ini dan bisa meluruskan, sering kita tahunya setelah sekian lama. Setelah buku itu punah dari pasaran.
Atau, “Kapok dah baca, merusak hari saya! Gak rekomended deh. Rugi…bla bla bla….” Padahal cuma masalah selera yang diiakui pembaca di baris terakhir review-nya. Hehehe.
Menyebalkan memang, tapi ingat 6 aturan utama di atas. Pembaca berhak berpendapat. Kata-katanya penting. So, jadikan saja sebagai bahan introspeksi. Kalau hanya satu dari sekian banyak pembaca yang salah paham, mungkin bisa diabaikan. Tapi kalau banyak dan berulang, perlu kita evaluasi tulisan kita sendiri, kok bisa membuat orang salah paham. Mungkin kita yang salah menyampaikan. Maksud tak sampai karena keterbatasan kita dalam teknik menulis. Perbaiki saja. Tak perlu merasa down, ngambek, “mutung”, tak mau menulis lagi. Atau yang lebih membuang waktu, membuat status defensif dengan mencela pembaca ybs, mengatainya sok tahu, sok pintar, tidak sopan, dan berlanjut dengan ratapan tentang sulitnya menulis, betapa orang tidak menghargai…bla bla….
Stop. Kuatkan mental. Berpikir positif. Ada kritik berarti ada pembaca. At least. Dan dari onggokan abu itu muncullah Phoenix baru yang lebih cantik….. cieee bahasanya!
Kalau Anda mau tahu kejamnya hutan rimba, tengoklah Goodreads. Bacalah review-review 1-2 bintang yang ditulis oleh pembaca umum yang bukan penulis/editor/penerjemah. Bahkan penulis besar dan sukses di dunia dapat bagian review pahit juga.
Tapi di komunitas pembaca seperti itulah, Anda bisa mendapatkan penilaian sebenarnya. Karya Anda teruji di sana. Pembaca yang kritis, pembaca yang santun dan objektif, pembaca yang jeli, juga banyak di sana. Mereka adalah sekutu Anda untuk meningkatkan kualitas karya.
Pembaca Kritis, Objektif, dan Santun
Kita beruntung kalau mendapatkan readership seperti ini. Apalagi pembaca yang paham benar menganalisis karya, berpengalaman dan jeli melihat kelemahan dan kelebihan. Dengarkan kata-kata mereka. Pertimbangkan saran-saran mereka untuk perbaikan pada karya selanjutnya.
Sebagai pembaca, ehem, aku memilih menjadi yang seperti ini. Tentu saja aku membaca berdasarkan pertimbangan selera, mood, waktu, dan faktor-faktor lainnya juga. Tetapi kalau diminta secara profesional mereview, aku lebih suka menyampaikan kritik dan pujian secara pribadi.
Pembaca Orangtua
Sebetulnya mereka lebih menjadi orangtua daripada pembaca. Memilah-milah dan membeli buku untuk anak mereka. Dari sekadar skimming hingga mencermati tiap gambar dan kata. Sensornya peka luar biasa. Apalagi bagi orangtua yang tujuannya menjadikan buku sebagai mitra pendidik. (Wow, suatu kehormatan bukan? Banyak penulis bacaan anak dengan senang hati berusaha memenuhi standar itu. Tapi banyak juga yang sedikit “nakal”, ingin mencuri hati anak dan menghiburnya saja, jadi tidak peduli dengan pesan moral yang dituntut orangtua untuk dieksplisitkan… hehehe, kayak aku)
Untuk penulis yang anti mainstream, ada risiko buku Anda disebut “tidak bermoral” eh, dipertanyakan, “Mana atau apa pesan moralnya?”….
Wajar…. Literasi anak memang dipenuhi standar berbeda-beda. Yakini apa yang kita yakini. Terima masukan. Pertimbangkan. Belajar lagi. Yakini apa yang kita yakini. Proses lagi. Di dalamnya tentu ada usaha menyampaikan apa yang kita yakini dengan ilmu dan kesantunan. Dan mungkin dalam prosesnya, Anda akan menemukan formulasi yang tepat untuk merangkul orangtua sekaligus anak-anak mereka.
Pembaca Anak
Di satu sisi ada benarnya orangtua berdiri di antara anak dan buku dengan tameng terangkat. Aku juga melakukan itu, hanya tamengnya bolong-bolong dan miring-miring. Hahaha. Karena aku percaya anak-anak. Karena aku pernah menjadi anak-anak. Karena aku penulis bermoral. Dan karena buku–meskipun dapat memberikan kesan mendalam–risikonya tidak sedahsyat visualisasi orang dewasa yang dijejalkan kepada anak melalui film/animasi. Buku, untuk sampai pada kesan dahsyat perlu pengalaman dan kecanggihan pembaca dalam menginterpretasi dan berimajinasi. Dengan kata lain: satu kalimat yang dianggap mengerikan oleh orangtua belum tentu menghasilkan visualisasi yang sama dalam benak anak. Itu bergantung pengalamannya, juga bergantung konteksnya. Buku lebih aman bagi anak ketimbang video. Dan literasi visual anak menjadi hal penting untuk diperhatikan.
Di sisi lain, pembaca anak adalah yang paling jujur. Meskipun orangtua, penulis, penerbit, berbusa-busa mempromosikan sebuah buku, mereka punya mekanisme seleksi sendiri yang kadang susah dipahami orang dewasa. Di hadapan anak, penulis itu sama, tak peduli apakah pernah menang lomba, menyabet aneka award, atau baru muncul kemarin sore (lha kan jelas, yang memenangkan penulis adalah juri dewasa, jadi kriterianya juga beda). Kadang satu gambar kecil di cover membuat anak-anak jatuh cinta dan tak mau lepas dari buku tersebut. Kadang warna berperan. Kadang karakter yang mewakili dirinya menjadi faktor penentu. Bisa jadi yang disukai anak sebetulnya adalah suara Ayah/Ibunya ketika membacakan satu buku. As simple as that. Anak lalu mengasosiasikan kebahagiaannya saat itu dengan buku yang dipegang. Maka, dimintanyalah dibacakan sampai tujuh kali dalam semalam.
Bukan berarti aku menafikan peran penulis dan ilustrator. Buku bagus selalu stands out of the crowd. Tapi pada buku anak, penulis jangan ge-er banyak-banyak dulu deh ketika bukunya disukai anak sampai kucel. Banyak faktor penyebabnya. Ge-er berlebihan bikin lengah. Jika anak sudah lebih besar, dapat mencerna buku secara mandiri, dapat menyampaikan hal-hal yang disukai atau tidak disukainya, dan cenderung memilih buku berdasarkan nama penulis, bolehlah kita salto. Selamat untuk kita 🙂 Justru inilah penghargaan terbesar bagi seorang penulis bacaan anak.
Salam kreatif…..
Catatan Definisi
Memahami Buku Dwibahasa dalam Peta Kedwibudayaan dan Dwiliterasi
oleh Sofie Dewayani*
(diposting di sini dengan seizin penulis)
Batas antara negara saat ini sudah mulai memudar. Budaya dan bahasa melintasi batasan geografis, sehingga multikulturalisme menjadi gaya hidup yang tak terelakkan di era modern ini. Kemampuan berbicara lebih dari satu bahasa (bilingualisme, atau bahkan multilingualisme), karenanya menjadi satu kompetensi yang membanggakan. Ini tak hanya dialami oleh penduduk negara berkembang – yang rata-rata berbicara bahasa nasional, bahasa lokal, dan bahasa internasional, yaitu Bahasa Inggris – namun juga mereka yang tinggal di negara maju.
Dengan pesatnya arus migrasi ke negara maju, bahasa-bahasa non-mainstream, seperti Bahasa Spanyol, Portugis, Arab, dan Mandarin, menjadi bahasa kedua (second language) di negara berbahasa Inggris (English-speaking countries) seperti Amerika Serikat dan Inggris. Meskipun bukan berasal dari generasi imigran dalam dua abad terakhir, penduduk yang berbahasa Inggris pun sering malu mengakui bahwa mereka hanya bisa berbicara dalam Bahasa Inggris (monolingual speaker). Perguruan Tinggi di Amerika Serikat misalnya, mewajibkan mahasiswa tahun pertama untuk mengambil kelas Bahasa Asing non-English.
Paparan ini mengantarkan fenomena bahwa penerbitan buku anak bilingual, atau bahkan multilingual, bukan hanya trend yang terjadi di negara berbahasa non-mainstream (non-English speaking countries), seperti Indonesia dan negara berkembang lainnya. Semangat multilingualisme telah menjadi spirit maraknya penerbitan buku-buku bilingual di negara-negara maju. Biasanya penerbitan buku jenis ini memiliki dua tujuan:
Dua fungsi tersebut penting untuk digarisbawahi untuk memahami konteks sosial dan tujuan penggunaan buku bilingual yang tentunya sangat spesifik. Yang bisa kita pelajari dari penggunaan buku bilingual di negara maju adalah bahwa buku-buku ini sedikit sekali, atau jarang digunakan sebagai media pembelajaran bahasa asing (non-English). Buku bilingual digunakan lebih untuk memperkenalkan cultural artifact, atau contoh kekayaan berbahasa. Kalaupun digunakan sebagai media pembelajaran, peran native speakers – seperti anggota keluarga, dan guru – amat penting untuk menjelaskan konteks kultural dan sosial yang melingkupi penggunaan bahasa itu. Alasan ini juga yang menyebabkan mengapa pembelajaran bahasa asing cenderung menggunakan buku monolingual dalam bahasa asing tersebut, karena ditulis dalam konteks kebahasaan lokal yang relevan.
Keterlibatan peran native speakers dalam pembuatan dan penggunaan buku bilingual tentu penting sekali, mengingat dua bahasa yang berbeda terkonstruksi dalam konteks budaya, literasi, dan elemen linguistik yang berbeda. Segmen berikut ini akan menjelaskan perbedaan tersebut.
Perbedaan Standar dan Tradisi Literasi
Buku anak berbahasa Inggris tercipta dalam sejarah literasi yang panjang. Buku anak berevolusi dari perannya dalam pembelajaran (reading for learning) menjadi media bermain yang menyenangkan (reading for pleasure/enjoyment). Dengan visi ini, teks dalam buku anak harus mudah dipahami anak, dituturkan dalam perspektif anak (childlike / child-oriented), dan tidak menggurui. Ketiga elemen ini terekspresikan dalam style atau gaya bertutur, intonasi, alur cerita, dan pilihan kata. Untuk buku bergambar, jumlah kata dibatasi tidak lebih dari seribu kata (beberapa penerbit bahkan mensyaratkan kurang dari itu). Ilustrasi dan teks juga tidak boleh bertabrakan dan menjelaskan hal yang sama.
Sementara itu, buku anak berbahasa Indonesia cenderung memiliki style, gaya bertutur, dan alur cerita yang berpusat pada orang dewasa (adult-oriented). Misalnya, kehadiran orang tua atau orang dewasa (atau tokoh anak-anak yang “dipinjam” oleh penulis untuk memberikan nasihat) amat lazim. Teks buku berbahasa Indonesia pun biasanya cenderung detil dan deskriptif (dalam kaidah literasi berbahasa Inggris, ini dikenal dengan “telling” dan dianggap sebagai cara bertutur yang buruk). Dalam buku bergambar berbahasa Inggris, deskripsi ini disampaikan melalui bahasa visual. Unsur telling dalam cerita berbahasa Indonesia membuat teks menjadi panjang dan dominan dalam buku bergambar. Seandainya narasi ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, panjang teks menjadi dua kali lipat teks semula. Selain itu, penerjemah mungkin akan kesulitan menemukan terjemahan yang benar-benar tepat dan sepadan karena ekspresi tertentu mungkin tidak akan dapat ditemukan terjemahannya dalam Bahasa Inggris.
Elemen Linguistik: Sintaksis dan Semantik
Dalam perspektif linguistik, bahasa memiliki dua komponen; yaitu struktur permukaan, elemen ketatabahasaan, atau sintaksis, dan unsur dalam, atau makna/semantik. Terjemahan cerita anak ke dalam Bahasa Inggris tentu harus akurat dengan unsur sintaksis dan semantik Bahasa Inggris.
Tata Bahasa
Seperti halnya Bahasa Indonesia, struktur kalimat Bahasa Inggris terdiri dari subjek, kata kerja, dan compliment (frasa selain subjek dan kata kerja). Berkaitan dengan struktur, penutur Bahasa inggris sudah dikenalkan kepada struktur simple sentence, compound, dan complex sentence sejak berusia dini. Struktur kalimat ini tentu harus diajarkan secara tepat.
Tenses
Umumnya, kisah fiksi disampaikan dalam past tense. Penuturan dalam present tense, meskipun tak lazim, dilakukan secara eksperimental dalam novel dewasa atau novel anak. Penuturan cerita menggunakan present tense dalam buku anak sebaiknya dilakukan oleh native speakers untuk menghindarkan kebingungan dan ketidaksesuaian dengan konteks cerita.
Koherensi / Coherence
Penulisan Bahasa Inggris memiliki aturan yang ketat mengenai koherensi tulisan. Tulisan tidak hanya harus padu (unified/cohesive), tetapi juga harus memenuhi urutan logika yang runut (sequential logical order). Sebuah kalimat harus mengembangkan ide yang dijelaskan oleh kalimat sebelumnya.
Pilihan Kata
Buku anak berbahasa Inggris biasanya menggunakan kata-kata yang sesuai dengan perbendaharaan kata di tingkat tertentu (word list). Standar word list ini bukan berdasarkan usia, namun level atau kelas. Karenanya, tidak menutup kemungkinan seorang advanced reader yang masih berusia tujuh tahun memiliki perbendaharaan kata untuk kelas tiga, misalnya. Meskipun demikian, penulisan buku anak tetap merujuk pada kemampuan standar yang dianggap dominan. Seandainya terdapat kata yang dianggap sulit, akan dituliskan dengan definisi yang jelas, baik melalui narasi maupun ilustrasi.
Idioms dan Collocation
Idiom dan collocation adalah perpaduan kata atau frasa yang memiliki makna tertentu. Dua unsur semantik ini berakar pada tradisi kebudayaan masyarakat penutur Bahasa Inggris. Penerjemah harus berhati-hati untuk tidak menerjemahkan teks Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris sehingga memiliki makna yang sama sekali berbeda dengan kata asalnya.
Contoh idioms: To rain cats and dogs, easy as a piece of cake.
Contoh collocation: To take care of health, to commit crimes, lions roar.
Kesimpulan
Penerbitan buku-buku dwibahasa tentu perlu untuk merespon modernitas dan globalisasi di mana bahasa asing, terutama Bahasa Inggris, memegang peranan penting. Namun, untuk kepentingan pembelajaran, penulis dan penerbit perlu memperhatikan akurasi dan kesesuaian konteks pernerjemahan teks agar tujuan pembelajaran bahasa asing dapat dicapai dengan efektif. Ini dapat dilakukan dengan melibatkan native speakers atau pembicara bahasa asing yang akrab dengan ekspresi asli dan konteks sosial bahasa asing tersebut.
Hal ini menegaskan bahwa penerjemah – dalam hal ini dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris atau lainnya – memiliki peranan penting. Holy Thompson, seorang penulis buku asal Amerika yang tinggal di Jepang dan menjadi mediator Bahasa Inggris dan Jepang mengatakan bahwa seorang penerjemah tidak hanya bertugas mengalihbahasakan. Menurutnya, seorang penerjemah perlu memiliki sikap otoritatif, dengan memberikan masukan kepada penulis tentang perbedaan konteks budaya dan literasi, dan bagaimana perbedaan ini sebaiknya dipertimbangkan dalam penyelarasan teks, alur cerita, dan gaya bertutur. Dengan kesejajaran peran penerjemah dan penulis, buku dwibahasa akan mampu menyajikan kedua bahasa secara setara dan sejajar. Dalam buku dwibahasa, tidak ada satu bahasa yang mendominasi bahasa lain, baik dari segi penuturan, konteks budaya, dan elemen literasi lainnya.
Selain itu, penulis dan penerbit perlu mencari cara kreatif untuk menyajikan teks dwibahasa. Salah satunya, adalah dengan tidak merebut porsi ilustrasi dalam buku bergambar. Seandainya teks yang disajikan cukup sederhana dan sesuai dengan pembaca target, mungkin teks tersebut tidak perlu diterjemahkan. Dengan ilustrasi yang baik dan komunikatif, anak akan mampu memahami karakter dan alur cerita.
Sudah saatnya pembuatan buku bilingual tidak hanya memenuhi kepentingan bisnis semata, namun juga menjadi media untuk pembelajaran bahasa asing yang efektif. Teks bahasa asing dalam sebuah buku anak seharusnya tidak berfungsi sebagai dekorasi, tempelan yang menambah nilai jual sebuah karya yang bahkan tidak dilirik sedikit pun oleh anak maupun orang tua. Teks bahasa asing perlu digarap dengan serius sehingga dapat menjangkau segmen pasar yang lebih luas, yaitu anak-anak penutur bahasa asing tersebut.
______________________________
* Sofie Dewayani, Ph.D, adalah staf pengajar luar biasa ITB, UPT Bahasa, mata kuliah English Writing, penulis dan penikmat bacaan anak, dan penulis artikel non-fiksi dengan topik pendidikan dan sastra anak di Harian Jakarta Post, Kompas, Republika, Matabaca, dan Media Indonesia.
Artikel ini adalah handout dalam Workshop untuk Editor Bacaan Anak yang diadakan IKAPI DKI Jakarta 4-5 Juni 2013.
Pernahkah Anda menemukan anak yang begitu sempurna dalam hidup Anda? Anak yang patuh pada orangtua, selalu menurut kata-kata mereka, ramah dan sopan, jujur, pemberani dan pintar, menghormati kakak, mengasuh adik dengan suka cita, peduli dengan teman, mempunyai banyak sahabat, tak pernah bertengkar dan memaki, segan pada guru-guru, rajin belajar dan mengerjakan semua tugasnya, dapat menasihati teman-temannya yang berbuat salah, dan segera sadar ketika melakukan kesalahan sendiri, lalu berjanji tidak akan mengulanginya.
Anda mungkin menemukan anak-anak seperti itu di dalam buku-buku cerita. Tetapi dalam kehidupan nyata, kemungkinan besar anak-anak melakukan salah satu atau beberapa hal berikut:
Membantah ketika disuruh, menunda-nunda atau lupa tugasnya, menangis, memaki, atau memukul ketika sedang marah, berharap adik tak pernah lahir, membenci kakak yang suka mengatur, suka mengganggu dan mengusili teman, takut terhadap sesuatu, menyimpan rahasia dan berani berbohong, menyimpan dendam, lebih suka menyendiri, sering lupa janjinya, malas membereskan tempat tidur, memainkan makanan yang tidak disukai dan diam-diam membuangnya ke tempat sampah, dan seterusnya…
Jadi, kenapa Anda menokohkan anak yang terlalu sempurna? Untuk memberi contoh atau teladan demi membentuk anak yang ideal? Bagaimana pesan itu sampai jika anak tidak menemukan dirinya pada si tokoh?
Menuju “BUKU ANAK INDONESIA UNTUK DUNIA”
IBBY dan Kongresnya
Berbeda dengan Frankfurt Bookfair atau Bologna Children’s Bookfair yang berfokus pada booktrading dan trendsetting, IBBY (International Board on Book for Young People) mempunyai karakteristik berikut:
Sejak didirikan pada 1957, IBBY sudah mengadakan kongres 33 kali, dan yang terakhir di London mengusung tema Crossing the Boundary: Translation and Migration. Melalui perbincangan kritis tentang persoalan konstruksi identitas dan pemaknaan “masa kanak-kanak” (childhood) dalam cerita, penulis, ilustrator, penerjemah, penerbit, pustakawan, pendongeng, dan peneliti dari seluruh dunia membahas apa makna dan peran bacaan anak di era keragaman budaya ini.
Multikulturalisme telah menjadi isu kontemporer dunia saat ini. Anak-anak bukan hanya menjadi saksi, namun juga korban alienasi sosial, intoleransi, penghakiman dari mayoritas, sebagai akibat dari meningkatnya migrasi antar negara, juga kekerasan dalam konflik antar ras dan agama di banyak negara. Buku anak tidak saja merekam pengalaman itu, namun juga menyebarkannya ke penjuru dunia. Melalui buku, anak mengenali fenomena sosial di belahan dunia lain yang beragam, kompleks, dan sering tidak adil. Dengan buku, anak-anak memahami dirinya yang bermigrasi atau menerima anak-anak pendatang. Dengan buku juga, budaya asal dipamerkan. Perbedaan dan keragaman tidak menjadi hilang, disembunyikan, atau diperolokkan. Ada pengertian dan empati yang dibangun. IBBY menghargai secara khusus para kreator bacaan anak yang berbagi pengalaman multikultural dalam karya-karyanya.
Di kongres itu, kami mendengar bagaimana Michael Rosen (seorang Inggris keturunan Yahudi) dengan puisinya menentang pelarangan jilbab di Prancis; Shaun Tan (berdarah China-Melayu-Kaukasia) dengan karyanya bercerita tentang pengalaman migrasinya yang universal (dialami oleh semua anak pendatang baru).
Kami menyaksikan Sonia Nimr dari Palestina mendongengkan cerita rakyat Palestina dalam dua bahasa, Arab dan Inggris, dan betapa 500 lebih audiens menikmatinya. Kami mendengar kisah Dashdondog dari Mongol yang dengan keledainya mengunjungi anak-anak di pegunungan untuk membawakan buku; pengalaman orang-orang Kamboja membangun perpustakaan di negara yang tercabik perang itu; nenek-nenek di Argentina digerakkan untuk membacakan buku di sekolah-sekolah; dan Jepang mengatasi trauma anak-anak akibat tsunami dengan membacakan buku, belajar dari pengalaman IBBY Indonesia (INABBY).
Kami juga mendengar Patsy Aldana, mantan presiden IBBY, pemilik dan pendiri Groundwood Books, penerbit besar di Kanada, prihatin tentang keseragaman buku di dunia karena dominasi penerbit-penerbit besar Barat yang sudah mengendalikan trend di banyak negara lain. Patsy dengan tegas menyatakan, penerbitnya akan terus menerbitkan buku-buku multikultural dari Timur. Dan sejauh ini, dia melaporkan, Groundwood sudah meluncurkan buku-buku dari India, Iran, dan Turki, dan mendapatkan tanggapan bagus di Kanada.
Kami menyaksikan di kongres, betapa negara-negara berkembang seperti Iran, India, Kamboja, sudah mencuri perhatian dunia barat dengan buku-buku khas yang mengangkat budaya lokal mereka. Buku-buku yang menunjukkan identitas bangsa mereka, bukan meniru-niru Barat. Hanya kualitasnya dari segi ilustrasi dan penceritaan memang luar biasa.
Picture Books sebagai Art Device
Kongres IBBY ke-33 ini memberikan apresiasi tinggi pada buku anak yang menyuguhkan tema-tema pluralitas secara artistik. Beberapa karya yang diperbincangkan dalam kongres – seperti The Arrival dan The Lost Thing, karya penulis dan ilustrator Shaun Tan, juga puisi-puisi Michael Rosen – meneguhkan bahwa nilai pluralitas itu tidak diajarkan secara eksplisit, melainkan dikonstruksi pembaca anak melalui kisah-kisah yang ditulis secara jujur dan subyektif. Anak disuguhi potret jujur tentang kegamangan, pencarian identitas, dan kehilangan. Semuanya disajikan melalui kisah keseharian, misalnya cerita makhluk aneh yang tak seorang pun tahu dari mana dia berasal (The Lost Thing, Shaun Tan). Tema-tema “muram” ini tentunya menggambarkan evolusi paradigma masyarakat Barat tentang anak-anak (childhood). Pada awal kemunculannya di abad ke-19, cerita untuk anak dituntut untuk menyiarkan kegembiraan dan pesan moral yang eksplisit karena anak-anak diyakini sebagai makhluk polos yang harus dididik tentang banyak hal. Selain itu, anak-anak harus selalu bergembira karena kesedihan akan merapuhkan mereka.
Buku anak adalah teks yang tak final, kata Shaun Tan. Tugas pembaca anak adalah menyempurnakannya dengan interpretasi, imajinasi, dan daya kritis mereka. Buku-buku Shaun Tan yang miskin teks – bahkan sering tanpa teks sama sekali – menampilkan gambar-gambar makhluk tak bernama yang merasa canggung, terasing, bahkan kesepian. Lahir sebagai keturunan campuran, Shaun Tan tak mengelak bahwa kisah-kisah itu merefleksikan sebagian dari dirinya. Namun keterasingan itu universal. Anak-anak akan membangun konsep alienasi dengan pengalaman mereka yang unik. Melalui gambar makhluk-makhluk fantasi ciptaannya, Shaun Tan mengundang anak untuk menciptakan kisah mereka sendiri, lalu membaca refleksi diri mereka dalam kisah itu. Anak adalah pembaca yang aktif mengkonstruksi makna. Penulis-penulis ini, sebagaimana ditegaskan juga oleh kongres, menegaskan bahwa buku sebaiknya tidak mengangap anak sebagai pembaca pasif yang hanya dijejali makna ciptaan orang dewasa.
Tak Ada Dikotomi
Di negara tempat buku-buku ini beredar, buku anak digunakan sebagai media dialog. Buku-buku fiksi anak memicu pertanyaan dan refleksi kritis di ruang kelas dan perpustakaan. Dengan fungsi ini, tak ada lagi dikotomi antara buku fiksi komersial dan buku pelajaran. Ketika anak menemukan kenikmatan dan terusik daya kritisnya saat membaca kisah fiksi, mereka telah mempelajari sesuatu yang sangat berharga. Terlebih, buku-buku fiksi juga menyajikan tema-tema kesetaraan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Selain itu, buku-buku bergambar disajikan dengan ilustrasi manual yang detil dan artistik. Estetika ini tidak saja mengembangkan rasa keindahan anak, namun juga memanjakan mata pembaca dewasa. Maka anggapan bahwa buku anak hanya dapat dinikmati oleh anak pun terpatahkan. Kongres juga menunjukkan bahwa ilustrasi buku anak dapat bernuansa monokrom, sephia, putih, atau hanya didominasi beberapa warna tertentu. Trend kuno bahwa buku anak harus berwarna-warni dan menyolok mata pun ditinggalkan.
Dalam rentang sejarah evolusi buku anak, kondisi perbukuan di Indonesia agaknya dapat disetarakan dengan situasi di awal abad keduapuluh di Eropa dan Amerika. Di masa ini, anak-anak dianggap berada dalam fase “the age of innocence,” sehingga buku-buku yang sesuai dengan mereka hanyalah buku yang “ceria” dan sarat nilai moral. Masing-masing negara tentu memiliki derap laju literasi yang unik dan mengakar pada kebutuhan dan konteks budaya lokal. Namun tanpa kreativitas dan inovasi dalam menggali potensi artistik khas Indonesia, nama Indonesia akan terdengar semakin samar di panggung literasi anak dunia.
Sebagai perbandingan, negara-negara yang masih bergelut dengan angka buta huruf seperti India, Thailand dan Kamboja telah berupaya untuk mengejar standar literer dunia Barat dengan menggunakan potensi budaya mereka. Negara Asia seperti Singapura, Korea, dan Jepang, sudah terlebih dulu mencuri perhatian dengan kisah yang sederhana namun filosofis, juga ilustrasi imajinatif yang khas anak. Perlu juga dicatat bahwa peta perbukuan anak tidak lagi didominasi negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika. Perhatian mulai teralih kepada negara-negara seperti Meksiko, Slovenia, dan Iran yang secara inovatif mulai memproduksi buku untuk anak berkebutuhan khusus. Penghargaan tertinggi dalam kreasi buku anak, yaitu Hans Christian Andersen Award, bahkan diraih oleh penulis Maria Teresa Andruetto dari Argentina, dan ilustrator Peter Sis dari Republik Cekoslovakia.
Buku Terjemahan
Tak dapat dipungkiri, buku-buku terjemahan turut meramaikan perbukuan anak di negara mana pun. Namun sejauh ini mainstream penerjemahan buku adalah dari Barat ke Timur, atau lebih spesifik lagi, dari bahasa Inggris—American maupun British—ke bahasa lain. Mempunyai buku yang diterjemahkan ke bahasa Inggris, bagai menjadi impian bagi semua penulis di negara lain. Tak kurang dari Kai Meyer, penulis Jerman, mengakui hal itu.
IBBY, sebagai ajang bertemunya semua unsur dalam perbukuan anak, mengakomodasi penerjemahan dari dan ke semua bahasa. Bekerja sama dengan section di negara anggota, salah satu upaya IBBY adalah memberikan penghargaan Honor List kepada penerjemah terpilih di negara masing-masing. Di samping itu, di dalam kongres-kongresnya, IBBY memberi kesempatan bagi para penerjemah untuk berkumpul dan berdiskusi membicarakan persoalan dan tantangan yang dihadapi penerjemah.
Pada umumnya, persoalan penerjemahan buku anak di sebagian besar negara cukup seragam. Mulai dari pendapatan yang relatif rendah karena buku anak, semisal cergam, umumnya minim kata, sampai ke banyaknya waktu yang perlu dicurahkan hanya untuk mendapatkan padanan yang tepat untuk satu kata. Mulai dari peran penerjemah yang bagai “the great disappeared”, sampai ke tanggung jawab besar yang berada di pundak penerjemah saat mengalihkan budaya.
Keberadaan penerjemah sangat disyukuri oleh para penulis. Penerjemahan berarti memperbesar peluang sampainya buku mereka ke lebih banyak pembaca. Bagi sebagian penulis, penerjemah adalah “diri kedua” mereka. Untuk itu, penulis berharap penerjemah hendaknya adalah orang yang mumpuni, sehingga tidak ada pesan yang gagal tersampaikan atau malah menyimpang. Beberapa penulis bahkan berharap penerjemah adalah penulis juga id negaranya. Yang juga diharapkan oleh penulis adalah komunikasi yang lebih lancar antara penulis, penerjemah, dan penerbit.
Namun begitu, penerjemahan buku anak bukanlah perkara mudah. Penerjemahan buku anak “(ist) kein Kinderspiel” kata Regina Pantos, mantan Presiden IBBY Jerman. Penerjemahan bukanlah sekadar mengalihkan bahasa, melainkan juga mengalihkan budaya. Bersamanya terkandung konsekuensi besar yang harus dipikirkan masak-masak. Maka tak heran jika Bart Moeyart, penulis dan penyair Belanda, mengingatkan penerjemah. Jika Anda akan menerjemahkan buku anak, Think twice, It’s children book!, demikian tuturnya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Produksi buku anak masih berfokus pada buku-buku yang mudah diserap dan memanjakan selera pasar. Penerbit pun belum berani berspekulasi dan bereksperimen dengan memproduksi buku-buku artistik yang tentu lebih mahal. Penghargaan finansial kepada ilustrator masih belum memadai sehingga ilustrator buku anak belum mengerahkan kemampuan artistiknya secara maksimal. Dengan minat baca dan daya beli masyarakat yang masih rendah, tak heran apabila dunia perbukuan anak masih didominasi buku sarat pesan moral dengan gaya menggurui, yang sudah terbukti dikehendaki pasar. Di sisi lain, buku-buku anak terjemahan masih menjadi raja di negeri ini untuk memenuhi kebutuhan kalangan yang “tidak puas” dengan karya lokal. Ironisnya, upaya sebagian penerbit mendwibahasakan buku-buku lokal masih sering terantuk pada masalah-masalah klasik penerjemahan.
Banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan Indonesia untuk mengejar ketertinggalan di kancah literasi anak dunia. Dalam lingkup nasional, kritik dan apresiasi terhadap sastra anak masih berada di wilayah marjinal dunia sastra. Kita membutuhkan forum penghargaan sastra anak untuk mendorong produksi buku anak secara artistik, baik secara visual, narasi, maupun kedalaman makna. Apresiasi sastra diperlukan untuk menciptakan standar literer dalam bacaan anak dan memberikan alternatif terhadap dominasi pasar dalam produksi buku anak.
[Ary Nilandari, Eva Y. Nukman, dan Sofie Dewayani]
(Illustration by Quentin Blake, Roald Dahl’s Mathilda)
Sering pembaca merasa tidak puas dengan fiksi yang dibacanya. Kok begitu sih? Masa begini? Dari mana tokoh ini tahu? Nggak masuk akal deh ada ini di situ. Kenapa tiba-tiba begini? Dst.
Pada cerita anak, sering kasusnya dari yang sepele seperti kehadiran binatang tertentu di setting yang bukan habitatnya tanpa justifikasi apa pun, sampai kasus berat seperti ending yang tidak memuaskan karena penulis terkesan menggampangkan solusi.
Pembaca berhak menilai dan berkomentar. Mereka sudah mengeluarkan uang untuk membeli buku dan waktu berharganya untuk membaca. Tetapi bukan itu saja yang seharusnya diapresiasi penulis. Melainkan juga bahwa pembaca mempunyai pengetahuan dan pengalaman sendiri. Itulah yang akan menjadi acuan mereka dalam menalar bacaan. Bukan pengetahuan dan pengalaman penulis.
Jadi, penulis tidak boleh berlindung di balik fiksi: “Ini kan fiksi, suka-suka penulis, dong.”; “Namanya juga dongeng, nggak harus masuk akal.”; “Lho, ini kan berdasarkan cerita nyata, memang begitu kok kejadiannya.”, dst.
Alasan itu hanya menunjukkan bahwa penulis tidak memahami fiksi secara utuh, tidak mengerti apa yang dimaksud dengan logika cerita, atau lebih parah lagi menganggap pembaca mau menerima begitu saja ceritanya. Ingatlah, membeli tidak selalu berarti baca tuntas, diam tidak selalu berarti menerima. Dan kalau di FB, Like tidak selalu berarti suka 🙂
Fiksi Versus Kehidupan Nyata
Fiksi adalah sebuah sistem yang sangat masuk akal. Setiap unsur pembangun fiksi (karakter, setting, plot dll) disusun berdasarkan hubungan sebab akibat, keterkaitan dan sekuensi logis menjadi kisah yang dapat diterima, dipercaya. Fiksi ibarat jalan mulus tanpa lubang dari titik awal ke titik akhir. Lubang atau flaws dalam fiksi akan membuat pembaca berkerut kening, dan jika terlalu banyak flaws, buku kita akan diletakkan saja.
Pernah mendengar ungkapan, stranger than fiction? Itulah kehidupan nyata. Justru dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan banyak keanehan tanpa penjelasan. Dalam satu kelas ada tiga murid bernama Susan. Ada pasangan Jawa-Padang bertetangga dengan pasangan yang juga Jawa-Padang, dan mereka sama-sama punya tiga anak seumuran. Ada guru yang sudah 4 tahun mengajar seorang siswa, tapi tak juga hapal namanya. Contohnya banyak.
Tapi coba itu langsung dimasukkan ke dalam fiksi. Anda menulis cerita dengan setting kelas, dan tokoh utamanya punya tiga teman bernama Susan. Lalu Anda merasa tidak perlu menjelaskan “kebetulan” itu. Memang ada kok dalam kehidupan nyata. Apa yang terjadi? Bagaimana Anda membedakan karakter Susan A, Susan B, dan Susan C? Jika Anda sendiri bingung, maka pembaca hanya akan menganggap Anda tidak kreatif menciptakan nama tokoh.
Bagaimana dengan guru yang tak hapal nama muridnya? Kenalanku mengalami itu dan terpaksa memindahkan anaknya ke sekolah lain. Coba masukkan ini ke dalam fiksi. Tapi Anda tidak memberi justifikasi kenapa si guru bisa begitu. Justifikasi bisa berupa latar belakang/karakter si guru, bisa juga setting sekolah yang memang menyulitkan kedekatan. Tanpa justifikasi itu, meskipun penulis beteriak bahwa benar ada guru seperti itu di sekolahnya dulu yang menangani satu kelas berisi 50 siswa, pembaca akan tetap mempertanyakan, terutama ketika pengetahuan dan pengalamannya sendiri berbicara lain.
Berarti penulis tidak boleh menulis yang aneh-aneh dan imajinatif?
Bukan begitu!
Anda boleh menulis tentang kuda berkaki lima, anak kecil berekor, penguin di gurun pasir, harta karun bajak laut terpendam di halaman belakang, patung yang hidup dan meneror kota, jerapah ikut bersekolah bareng anak manusia, dll.
Tapi jangan menyinggung kecerdasan pembaca dengan kesan mengada-ada atau menggampangkan. Justifikasi. Logiskan setiap unsur itu. Paling mudah, Anda membuat setting yang sesuai untuknya, yaitu dunia fantasi. Walaupun tetap saja, genre fantasi pun punya aturan main sendiri dan juga menjunjung logika cerita. Jika Anda menggabungkannya dengan dunia yang kita huni, berhati-hatilah, karena mungkin Anda perlu justifikasi ilmiah, misalnya untuk anak kecil yang tumbuh ekor. Anda tak bisa pula mengatakan harta karun bajak laut di halaman belakang itu sebagai suatu “kebetulan” atau “pertolongan ajaib” yang wajar saja untuk anak miskin yang baik hati.
(oke, contoh-contohku mungkin sedikit lebay, tapi bisalah dipahami esensinya)
Anda mungkin berkilah dengan menunjukkan bukti-bukti berupa cerita rakyat atau dongeng yang tidak “logis” tapi tetap disukai pembaca. Benar. Itulah kekuatan genre tradisional. Tak perlu ada justifikasi untuk keajaiban. Sihir ada tanpa penjelasan. Tokoh hitam putih begitu mencolok meskipun mereka bersaudara kandung. Binatang bisa berbicara dengan manusia. Dst. Memang begitulah ciri khas genre tradisional (cerita rakyat)
Tapi Anda menulis fiksi, kan? Atau hanya menulis cerita dengan pola dongeng tradisional? Kalau Anda menulis fiksi, jangan lupakan logika cerita. Seimajinatif apa pun fantasi yang Anda tulis, cerita Anda harus berterima. Tokoh, lokasi, objek, semuanya harus “berperilaku” alami dan masuk akal untuk dunia tempat cerita itu terjadi. Jangan sampai ada lubang-lubang (flaws) dalam jalinan kisahnya.
Masih Bingung, Berikan Contoh Lagi
1. Bentrokan dengan fakta ilmiah
Anak-anak tahu jerapah adalah binatang berleher panjang, mampu menjangkau dedaunan tinggi, tapi tidak cukup panjang untuk menjangkau tanah. Alhasil, jerapah harus merentangkan kaki depan agar bisa minum air sungai. Jika, ada cerita atau ilustrasi yang menokohkan jerapah dengan kepala blusukan ke lubang-lubang kelinci tanpa diceritakan susah payahnya, berarti si penulis tidak tahu fakta ini. Lalu berkilah, ini kan fabel. Kukatakan itu flaw. Penulis yang cerdas justru memanfaatkan fakta ilmiah untuk membuat ceritanya lebih menarik. Kalau tidak menggunakan fakta ilmiah, buatlah si jerapah sekalian pakai baju, berdiri dengan dua kaki, dan pergi ke sekolah naik sepeda (antropomorfisme).
2. Menggunakan stereotipe untuk justifikasi
Orang dewasa cenderung punya stereotipe yang dibangun dari pengalaman hidup atau bacaannya. Anak-anak, sebaliknya, masih polos, kalau belum dicekoki pula oleh orang dewasa dan media. Misalnya cerita detektif yang ujungnya si pelaku kejahatan adalah lelaki berambut gondrong, bertato, suka keluar malam. Tak ada petunjuk lain sepanjang cerita yang mengarah kepada orang ini kecuali penampilan lahiriahnya. Ini flaw. Tidak adil. Contoh stereotipe banyak, kaya identik sombong, miskin identik rendah diri, dll.
3. Menggunakan pengetahuan/pengalaman terlalu personal.
Di satu sisi, penulis harus menggali dirinya sendiri untuk menghadirkan cerita dengan orisinalitas tinggi. Tetapi di sisi lain, penulis juga perlu hati-hati untuk tidak menjadikan hal-hal personal sebagai basis generalisasi. Karena setiap orang memiliki pengalaman, pengetahuan (wisdom) yang unik, belum tentu orang lain memahaminya. Contoh, seorang penulis punya pengalaman buruk waktu kecil, diledek teman-temannya karena ayahnya bekerja sebagai tukang pos. Lalu itu dituangkan dalam cerita. Si tokoh malu karena berayahkan tukang pos, sehingga ia menyembunyikan fakta itu. Oke, kalau penulis bisa menunjukkan emosi dan alasan personalnya kenapa ia malu. Tidak oke, kalau semua itu cuma ada di benak penulis dan pembaca hanya disuruh menerima sebagai fakta bahwa pekerjaan tukang pos memalukan. Haloo, lihatlah pembaca Anda. Di era apa mereka hidup. Lihat tontotan mereka yang menokohkan postman, builder, masinis, dll. dengan hebatnya.
4. Sebaliknya, menggunakan anggapan umum atau generalisasi yang kadang tidak sepenuhnya benar (hampir mirip stereotipe)
Peri selalu dianggap cute, bertongkat sihir, punya bubuk peri. Lalu dibuatlah cerita tentang peri dan dunianya. Setting lokasi tidak dideskripsikan dengan jelas, si peri juga tidak diberi karakterisasi kuat, karena penulis menganggap pembaca sudah tahu dunia peri ya seperti itu. Walau mungkin plotnya tidak sampai berlubang, barangkali ada baiknya penulis riset bahwa peri di negeri asalnya muncul dalam berbagai jenis, nama, karakteristik, habitat, dan legendanya masing-masing. Dengan demikian, terhindar dari menulis kisah usang/klise. Contoh lain: anggapan umum tentang anak-anak jalanan, generalisasi tentang anak kota dan anak desa, dll. Jika Anda punya pengalaman pribadi, galilah. Jika tidak, lakukan riset, riset, riset. Agar kisah Anda believable, unik, personal.
Plot dan Jebakannya
Singkatnya, tidak ada plot tanpa konflik, dan tak ada konflik tanpa karakter. Plot muncul dari karakter, bukan sebaliknya. Jadi, ada satu atau beberapa karakter berkonflik satu sama lain, atau dengan situasi, atau bahkan dengan diri sendiri.
Plot Utama dan Subplot
Plot utama ibarat sungai besar, dan subplot ibarat sungai-sungai kecil yang bergabung dengan sungai besar, menuju muara. Baik plot utama dan subplot berujung pada satu titik penyelesaian. Banyaknya subplot bergantung pada target pembaca dan kemampuan penulis merangkaikan semuanya menjadi satu cerita utuh tentang si tokoh utama.
Plot utama: Adi menggunakan uang kelas untuk keperluan pribadi dan harus menggantinya segera. Ia hendak bekerja membantu pamannya di perpustakaan agar mendapatkan uang saku dan menyelesaikan masalahnya.
Subplot: Masalah-masalah yang menambah kerumitan plot utama, dan bisa juga berdiri sendiri, tetapi menguatkan karakter utama, misalnya:
Penggerak Plot
Jebakan Plot
Jebakan muncul saat penulis mengalami kebuntuan plot. Untuk menggerakkannya lagi, penulis mengambil cara mudah, lupa pada elemen-elemen penggerak plot di atas. Artinya, ketika tokohnya menghadapi konflik yang begitu rumit dan seolah semua jalan buntu, tiba-tiba dia diberi solusi tanpa harus berusaha keras. Contohnya:
Bagaimana Menghindari Lubang dalam Logika Cerita dan Jebakan Plot?
Selamat membaca dan menulis.
Pada 27-30 Mei lalu, kami menghadiri event internasional Asian Festival of Children’s Content (AFCC) di Singapura. Terbang secara terpisah dari Bandung, Jakarta, Pekanbaru, dan Kuala Lumpur, tercatat 5 penulis, 6 ilustrator, 2 editor penerbit sebagai delegasi Indonesia. Partisipasi Indonesia tahun ini meningkat pesat dibandingkan sebelumnya. Apalagi kami ke sana tidak hanya sebagai peserta, tetapi juga sebagai pembicara dalam konferensi, pemenang AFCC Sketch, dan tiga nominees SingTel Award untuk cerita dan ilustrasi picturebook. Prestasi yang sungguh patut dibanggakan. Mengapa tidak?
Bacaan anak kita memang melejit secara kuantitas di negeri sendiri, tetapi belum cukup menonjol di kancah internasional. Umumnya karena kualitas yang masih jauh di bawah standar. India, Malaysia, Kamboja, Iran, bahkan Palestina, sudah lebih dulu mendunia. Yang patut dicatat adalah mereka justru menampilkan jati diri masing-masing. Dalam hal ini, tampaknya kreator bacaan anak Indonesia masih mencari-cari.
Literatur anak Indonesia seolah baru terjaga dan menggeliat untuk bangkit. Saat kita membuka jendela, dunia menyapa ramah, “Ooh, ternyata ada ya Indonesia. Selamat datang. Apa kabar? Oh, ternyata kalian bisa juga berkreasi sungguhan untuk anak. Anak-anak dunia perlu tahu nih tentang Indonesia dan anak-anak di sana.”
Untuk penerbit adalah hal wajar melanglang buana mengunjungi pameran-pameran buku, dan secara khusus hanya membidik right market. Tapi untuk penulis, ilustrator, editor, dan umumnya pencinta literatur anak, ada ajang yang lebih tepat guna membuka wawasan, yaitu kongres, seminar, atau konferensi literatur anak internasional. Salah satunya AFCC ini.
AFCC
Untuk informasi lebih detail tentang Asian Festival of Children’s Content, Anda bisa kunjungi websitenya. Tetapi gambaran besarnya sebagai berikut:
Ada tiga acara malam yang kami hadiri. Malaysian Night, Award Presentation, dan SCBWI Dinner. Pada Malaysian Night, menyaksikan performan teman-teman Malaysia, aku langsung berpikir keras. Kira-kira apa yang bisa ditampilkan Indonesia jika suatu saat bisa menjadi country of focus AFCC. Adaptasi cerita anak ke drama musikal yang dipadu dengan tari-tarian daerah, atau cerita anak dalam bentuk pertunjukan wayang golek? Wah, kemungkinannya tak terbatas. Dan ternyata diam-diam teman-teman pun berkasak-kusuk dengan pemikiran yang sama. Ada yang menyebut tari merak, tari topeng, reog, dst.
Pada penyerahan hadiah, kami hadir dengan harap-harap cemas. Dan akhirnya, meskipun tak menyabet satupun hadiah, kami bersyukur. Menjadi nominee adalah lompatan tak terkira dari yang tadinya tertidur lelap. We’re winners already, kata Sofie.
Aku, Eva, dan Sofie, mempunyai pandangan dan idealisme yang sama, yang kemudian diwujudkan dalam proyek bersama, melibatkan Kelir. Proyek itulah yang membawa kami ke Kongres IBBY di London Agustus 2012 lalu. Masih ingat aku, di kamar wisma Indonesia di London, Sofie menemukan call for paper untuk AFCC Mei 2013, dan mengusulkan untuk mencoba membawa proyek kami ke sana pula. Why not? Let’s do it. Sepulang dari London, abstrak disubmit. Lalu diterima, dan di sanalah kami bertiga. Dalam sesi yang begitu singkat, hanya 10 menit, akhirnya tugas speaking diserahkan kepada Sofie, agar lebih efektif. Kami mempresentasikan tema-tema budaya dan multikulturalisme Indonesia dalam buku-buku kami.
Dalam sesi tanya jawab, ada seorang wanita Prancis yang berkomentar. Ia pernah tinggal lama di Indonesia dan mengamati di toko buku banyak sekali buku anak didaktis, mengajari anak untuk pintar ini itu. Dan sebagai orangtua, ia tidak suka membelikan anaknya buku seperti itu. Katanya, “I am a writer too. I think, I won’t write that bad.” Kritik tajam itu aku terima sebagai bentuk perhatian dan pujian terselubung untuk tema-tema berbeda yang kami presentasikan.
First Look: Illustration Critique
Panelis NAOMI KOJIMA (Author, Illustrator),SHIRIN YIM BRIDGES (Author, Publisher), YUSOF GAJAH (Artist, Author & Illustrator, Storyteller) MODERATOR: MIO DEBNAM (Author, Editor)
Sayangnya sesi ini bentrok dengan sesi presentasi kami. Padahal beberapa ilustrator Indonesia sudah submit karya untuk dibedah di sana. Aku belum sempat bertanya serius apa yang terjadi. Tetapi teman-teman ilustrator tampak gembira karena mendapatkan masukan berharga, pedas sekalipun. Syukurlah, karena sudah ada yang siap-siap pingsan. Haha. Sesi kritik bahkan dilanjutkan di luar saat break. 🙂
Dan aku mendengar sendiri wejangan para pakar itu terhadap teman-teman tentang karya mereka. Lalu aku membatin, “Wah, untuk ilustrasi yang dibuat dengan sepenuh hati, mengerahkan segala kemampuan saja, masukannya begitu banyak dan tajam. Apalagi untuk karya-karya di pasaran lokal ya, yang sering terkesan buru-buru dan ala kadarnya.”
Tidak bermaksud mengecilkan peran ilustrator kita. Mereka sangat berbakat dan hebat. Tidak kalah dari segi teknik dan pengalaman. Tetapi faktanya, buku anak kita menderita kekurangan vitamin visual karena banyak alasan, dari penghargaan minimalis terhadap ilustrator, naskah yang kurang imajinatif, hingga penggarapan buku yang terburu-buru secara keseluruhan.
Aku memberanikan diri mensubmit halaman pertama tulisanku. Hanya 100 kata, aturannya. Lalu diterima. Wow. Deg-degan. Karena kudengar dari para ilustrator kisah-kisah seram pembantaian yang dilakukan panelis di First Look. Aku tidak akan tahu bagaimana rasanya kalau tidak mencoba. Nekad. Toh sudah ke sana. Toh anonim. “Siap-siap pingsan saja, Mbak Ary.” Begitu teman-teman ilustrator menggoda.
Dan sesi itu tiba. Panelis adalah:
VATSALA KAUL BANERJEE (Editor), RENEE TING (Publisher) MODERATOR: KATHLEEN AHRENS (Author)
Halaman demi halaman karya orang lain dibacakan. Aku mendengarkan baik-baik dan berusaha mengambil pelajaran dari setiap kritik. Ada yang tegas, “Aku tidak suka ini.” lalu disertai alasannya dari segi teknik dan isi. Ada yang ragu-ragu “Boleh juga, tapi harus ada perbaikan di sini, di sini…dst.” Dan ada yang langsung bilang, “Aku suka. Dan akan membaca terus.”
Bagaimana dengan halaman pertamaku yang berjudul A Face for DamDam? Vatsala berkata, “Definitely, I want to read more.” Yes! Dan Renee Ting memberi masukan sedikit tentang satu frase bahasa Inggris yang sebaiknya tidak digunakan karena biarpun oke dalam budaya Asia, tidak berterima di pasar Amerika. Got it.
Society of Children’s Book Writers and Illustrators adalah salah satu mitra NBDCS dalam AFCC dan penyelenggara Biennial SCBWI Bologna Showcase di Bologna Children’s Book Fair. Berpusat di Amerika Serikat, lembaga ini mempunyai regional chapter di berbagai negara, terdekat dari sini adalah Malaysia. Peran SCBWI dalam memajukan anggotanya tidak diragukan lagi. Evelyn Ghazali dari Kelompok Ilustrator Buku Anak Indonesia (KELIR), sudah menjajaki kemungkinan pembukaan chapter Indonesia. Aku dan teman-teman penulis dari FPBA mendukung upaya ini, dan kami berkomitmen untuk mewujudkannya. Setelah pembicaraan perwakilan Indonesia dengan para advisor SCBWI, Kathleen Ahrens, ketuanya, mengumumkan di acara SCBWI dinner, bahwa mereka menyambut pembukaan SCBWI Region Indonesia. Tepuk tangan pun ramai diberikan. Yay!
AFCC mengumpulkan pemain utama dalam literatur anak dari berbagai negara di satu tempat, di sebuah ruangan, duduk berdampingan, saling berbagi, bertukar kartu nama, dan membuat janji untuk followup. Dalam satu sesi, aku bertemu dengan Jo Williams, direktur Bookaroo, India.
India dikenal dunia dengan tingkat literasi yang sudah maju. Bookaroo menyelenggarakan Festival of Children’s Literature berskala internasional. Tidak seperti AFCC yang audiens-nya orang dewasa, Bookaroo membidik anak-anak. Festival 3 hari ini diisi kreator buku dunia. Selama lima tahun berturut-turut, papar Jo, belum pernah ada penulis/ilustrator Indonesia yang mengisi acara di sana. Dan Jo kemudian menindaklanjuti obrolan santai itu dengan email resmi mengundang aku dkk. untuk menjadi pembicara di acara tersebut November 2013 ini di Delhi. (Insya Allah…. )
Inilah yang aku maksudkan, bahwa sekalinya kita buka jendela lebar-lebar dan menunjukkan apa yang dapat kita lakukan, mereka akan melambai dan mengajak kita keluar lebih jauh, dan akhirnya mampir ke tempat mereka. Pengakuan ini meningkatkan rasa percaya diri, tentunya. Dan pada gilirannya, memberikan semangat untuk meningkatkan diri terus dan terus.
Aku tahu, inilah yang jadi masalah besar kita. Itu juga yang pernah dan akan selalu jadi pertimbangan pertamaku. Event internasional di mana pun, tentu saja berbiaya tinggi. Tetapi let me share you some tips:
Kukira, secara implisit manfaat keikutsertaan di event internasional sudah tergambar di atas ya. Terutama event yang memungkinkan interaksi akrab dengan kreator buku anak dunia. Ilustrator Indonesia sudah lebih dulu merintis dan merambah dunia internasional. Baik dalam pameran maupun kerja sama dengan penulis/penerbit luar negeri.
Bagaimana penulis bacaan anak Indonesia? Bukankah kita mencipta buku anak bukan sekadar mencipta, tetapi juga ingin karya kita berpengaruh terhadap literasi anak? Jadi, mari kita mengembangkan diri. Always.
___________________
Terima kasih untuk Evelyn, Evi, Eva, Ika, Dewi, dan Ken Quek untuk dokumentasinya.